MENANGGAPI LEGALISASI LGBT DI INDONESIA
“LGBT, Butuh Kita...”
Pembangunan suatu negara tidak lepas dari peran pemudanya sendiri dalam memajukan dan mewujudkan cita-cita bangsanya. Namun, bagaimana jika permasalahan suatu negara berasal dari pemuda itu sendiri ? lihat saja sekarang semakin berkembangnya zaman perubahan perilaku sosial masyarakat semakin tidak terkendali, sehingga dapat menciptakan persepsi dan pemikiran sejumlah konsep, teori dan istilah yang telah menjadi gaya hidup di era globalisasi ini. Isu LGBT (Lesbian, gay, biseksual, dan transgender) yang telah menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat sejak dulu dan sempat hilang dari media pemberitaan, namun beberapa tahun belakangan ini fenomena LGBT itu kembali muncul dan populasinya semakin meningkat dengan munculnya komunitas-komunitas pendukung LGBT. Masalah ini, tidak hanya berpengaruh pada kehidupan pelaku LGBT tersebut, tetapi juga berpengaruh pada generasi penerus bangsa Indonesia.
Isu LGBT merupakan isu internasional yang keberadaanya semakin meningkat tidak hanya di luar negeri tapi juga di dalam negeri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2014) total penduduk Indonesia  tahun 2018 mencapai 265 juta jiwa, 3% atau sekitar 10 juta jiwa diperkirakan orang yang berperilaku gay dan itu diprediksi akan terus meningkat setiap tahunnya.
Pelaku LGBT memiliki resiko terkena penyakit HIV/AIDS terbesar di dunia. Menurut data dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention) AS pada 2010 menunjukkan dari 50 ribu infeksi HIV baru, dua pertiganya adalah gay (laki-laki seks dengan laki). Data pada 2010 ini jika dibandingkan dengan data pada 2008 menunjukkan peningkatan 20%. Dari data tersebut terlihat bahwa populasi LGBT meningkat setiap tahunnya. Dan parahnya lagi LGBT ini tidak hanya menyerang orang-orang awam pendidikan, namun sekarang sudah meyebar ke kalangan pegawai sipil, guru, pelajar dan mahasiswa. Bedasarkan hasil riset Universitas Andalas bebas dari LGBT, dimana dari 436 responden 10,94%  mengatakan mengenal mahasiswa yang terkena LGBT lebih dari 3 orang, 28,88% mengatakan kenal 1-3 orang LGBT, sedangkan 59,74% tidak ada yang mengenal mahasiswa yang terkena LGBT. Penyebab LGBT tersebut berdasarkan hasil survey yaitu 38,73% karena salah pergaulan dan rendahnya pengetahuan agama 30,20% (UnandOnData, 2018).
Hak asasi LGBT sebagai warga negara Indonesia merasa haknya tidak dihargai sehingga terdapat diskriminasi terhadap pelaku LGBT yang mendorong individu tersebut membentuk komunitas sesamanya untuk menyuarakan haknya sebagai warga negara Indonesia. Sejak tahun 1978, komunitas pendukung LGBT seperti Gaya Nusantara, IGAMA dan Gaya Dewata telah menyuarakan haknya kepada pemerintah, namun sampai sekarang masalah tersebut belum juga dapat dituntaskan, dan baru-baru ini semakin banyak berdiri komunitas LGBT, yang paling terkenal yaitu Arus Pelangi, dan jumlah komunitas ini akan terus bertambah setiap waktu jika negara tidak cepat mengambil keputusan.
Pemuda sebagai agen of change berperan penting dalam mengatasi permasalahan ini dan mencari solusi untuk mengembalikan pelaku LGBT kembali pada fitrahnya sebagai manusia yang normal. Oleh karena itu, dalam mengatasi permasalahan ini, pelaku LGBT butuh dukungan dan motivasi dari semua pihak terutama keluarga. 
Apa itu LGBT ?
Menurut Haryanta (2012) menyatakan bahwa LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) atau secara luas disebut homoseksual yaitu seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang berjenis kelamin sama sebagai mitra seksual. Homoseksual laki-laki disebut gay, homoseksual perempuan disebut lesbian, orang tertarik dengan laki-laki dan perempuan dalam orientasi seksual disebut biseksual, sedangkan transgender yaitu orang yang berperilaku tidak sesuai dengan gendernya.
Ciri-ciri pelaku LGBT sulit untuk dikenali dan cendrung menyembunyikan perilakunya tersebut, hanya sebagian kecil yang berani tampil didepan umum dengan perilaku seperti itu, yang bisa dikenali yaitu individu transgender (waria). Namun, sejak munculnya negara yang melegalkan LGBT seperti Amerika tahun 2015 dan Inggris tahun 2013, orang perilaku LGBT semakin berani menunjukan diri ke publik baik melalui media sosial maupun didepan masyarakat langsung dengan secara terang-terangan mengatakan kalau dirinya “gay” dan sebagainya. Sehingga hal ini sudah menjadi suatu gaya kekinian yang banyak di contoh oleh remaja yang tidak bisa secara bijaksana menyaring informasi dan perilaku karena perubahan zaman ini.
Penyebab munculnya sifat LGBT ada beberapa faktor, diantaranya  korban broken home, lingkungan tumbuh dan bermain seperti anak laki-laki yang bergaul dengan anak perempuan sehingga anak laki-laki cenderung berperilaku layaknya wanita, trauma dan kekecewaan terhadap pasangan sebelumnya, korban dari sodomi, budaya setempat, dan gurauan yang berlebihan menyebut seseorang LGBT juga dapat mendorong munculnya sifat homoseksual tersebut. Namun, LGBT ini dapat dicegah dimana diawali dengan keluarga yang perhatian, pendidikan yang baik, dan lingkungan bermain yang tidak salah.
LGBT , penyakit psikologis atau faktor genetik ?
Dalam ilmu kedokteran, penyakit itu ada dua jenis yaitu penyakit kejiwaan dan penyakit genetik. Penyakit kejiwaan atau gangguan psikologis merupakan gangguan dalam cara berfikir (cognitif),  kemauan (volition), emosi (affective), dan perilaku (psychomotor). Gejala terpenting dari dari penyakit kejiwaan adalah adanya ketegangan (tension), rasa putus asa, murung, gelisah, cemas, histeria, takut, dan sebagainya (DokterSehat.com).
Sedangkan, Penyakit genetik merupakan penyakit yang dikendalikan oleh gen yang diturunkan oleh orangtua kepada anaknya. Penyakit genetik dikendalikan oleh kromosom X dan Y yang diturunkan dari orangtua. Jumlah kromosom manusia ada 46 + XX (wanita) dan 46 + XY (pria), termasuk disana kromosom seks Xq-28.
Profesor Darmono bagian toksikologi melaporkan bahwa seorang anak yang terlahir dengan kromosom XXY dimana di dunia kesehatan disebut gangguan klinefelter syndrome yakni kelainan genetik dengan kromosom X yang berlebih, sehingga wanita ataupun pria dengan kromosom ini memiliki gaya dan cara berpakaian yang tidak sesuai dengan gendernya. Begitu juga dengan anak dengan kelamin ganda (ambigous genitalia) yang juga merupakan kelainan genetik.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa LGBT bukanlah penyakit gangguan jiwa maupun penyakit turunan genetik karena LGBT tidak memiliki gejala seperti yang disebutkan di atas. Kelainan seksual berbeda dengan orientasi seksual. Tidak ada gen yang mengatur orientasi seksual seseorang, namun gen mengatur ekspresi fisik seksual seseorang, apakah pria atau wanita. Dimana pada prinsipnya penampilan seseorang dipengaruhi oleh 5% genetik dan 95% lingkungan. Sehingga lingkungan memiliki peran yang besar dalam membentuk perilaku seseorang. Misalnya jika anak tumbuh di lingkungan kriminal, maka dewasanya si anak akan berperilaku kriminal juga, begitu juga dengan LGBT.
Pelaku LGBT mengatakan bahwa perilakunya tersebut kodrat dari tuhan. Memang tidak bisa dipungkiri semua yang ada di bumi dan isinya adalah ciptaan tuhan termasuk malaikat dan iblis juga ciptaan tuhan. Logika saja, jika yang buruk dan menyesatkan pasti dihindari oleh manusia, begitu juga dengan LGBT. Jika itu sudah salah dan menyimpang, apakah masih akan tetap bertahan pada penyimpangan tersebut? tentu tidak. Perilaku tersebut dapat diubah seperti pengakuan Andi Dermawan dalam wawancara eksklusif dengan Indonesiaone.org yang merupakan seorang mantan homoseksual telah berhasil sembuh dari homoseksual, dia berfikir bahwa tidak ada pria berpasangan dengan pria.
Legalisasi LGBT atas nama HAM?
Pelaku LGBT seringkali menyuarakan bahwa mereka tidak mendapatkan hak-hak sipil atas nama HAM sebagai warga negara seperti hak hidup nyaman, hak memperoleh pekerjaan dan hak memperoleh layanan kesehatan. Dengan alasan bahwa mereka tidak dapat memperoleh layanan kesehatan gratis (BPJS) dan pekerjaan karena identitas mereka tidak jelas dan belum diakui oleh negara, sehingga mereka meminta pemerintah membuat identitas baru selain pria dan wanita. Hal ini dipertegas dalam UU No. 23 tahun 2006 bahwa negara hanya mengakui dua gender yaitu pria dan wanita dan ketentuan serupa mengenai isi kartu penduduk yang ditetapkan dalam Undang-undang Administrasi Kependudukan. Jadi jelas bahwa jenis gender hanya ada wanita dan pria, dimana gender ini suatu sifat mutlak yang diturunkan oleh sang pencipta. Dengan adanya gender tersebut maka adanya perbedaan peran, kedudukan, hak, tanggungjawab, dan sebagainya antara pria dan wanita.
HAM merupakan hak yang dimiliki oleh semua manusia dan semua umat manusia memiliki hak ini (Philip, 2012). Setiap negara memiliki aturan HAM yang bervariasi. HAM di Indonesia belum tentu berlaku pada HAM barat dan sebaliknya. Orang yang membuat pelanggaran di negara barat, belum tentu di Indonesia hal tersebut dikatakan pelanggaran. Begitu juga dengan kasus LGBT, ketika orang barat melegalkan LGBT, apakah Indonesia juga ikut-ikutan melegalkan LGBT ?.
HAM Indonesia atau HAM ketuhanan berdasarkan sila-pertama ketuhanan yang maha esa”, artinya setiap warga negara Indonesia memiliki tuhan dan hidup sesuai dengan ajaran dari kepercayaannya masing-masing sebagaimana agama mengaturnya. Jika menurut kepercayaan itu salah, maka haram bagi orang tersebut melakukannya. Tidak ada satupun agama di Indonesia yang setuju dengan perilaku LGBT karena menyalahi fitrah manusia yang diciptakan berpasang-pasangan. Hal ini dipertegas dalam UU No. 1 pasal 3 ayat 1 tahun 1974 menyatakan bahwa dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri (panggilan wanita sudah menikah). Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (laki-laki yang sudah menikah). Artinya  laki-laki hanya berpasangan dengan perempuan, bukan laki-laki dengan laki-laki atau sebaliknya. Karena salah jika orang yang mengatakan bahwa ketika “dua orang laki-laki berjalan berdua” dikatakan “pasangan laki-laki berjalan berdua”.
Perbedaan HAM inilah yang kurang dipahami oleh komunitas yang pro terhadap LGBT, seringkali membawa HAM barat menjadi HAM Indonesia. Seperti salah satunya yaitu hak asasi setiap manusia adalah menjaga kelangsungan hidup keturunannya namun hak ini akan jadi pelanggaran apabila dukungan terhadap LGBT terus dilakukan.
Contohnya Amerika yang telah melegalkan pernikahan sejenis dan izin memiliki anak sendiri. Dimana mereka memperoleh anak dengan cara sewa rahim. Sperma orang homo dipertemukan dengan sel telur yang dibeli dan meminjam jasa seorang perempuan mengandungnya. Kemudian bayi tersebut menjadi anak pasangan homo. Atas nama HAM memang dibolehkan, namun permasalahannya terjadi pelanggaran HAM terhadap anak yang dilahirkan. Anak yang dilahirkan juga seorang manusia yang juga memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya, bukan produk yang dapat diperlakukan seenaknya saja oleh manusia lain. Memang setiap anak yang dilahirkan ke dunia tidak dapat memilih dilahirkan dari orangtua yang diinginkan, namun alamiahnya mereka terlahir ditengah-tengah keluarga yang terdiri dari ibu dan bapak, bukan ibu dan ibu atau bapak dan bapak. Jika LGBT dilegalkan maka tidak akan ada lagi generasi penerus bangsa karena hubungan homoseksual tidak akan bisa menghasilkan keturunan sendiri.
LGBT menyebabkan kerugian negara
Ketika kita membaca sejarah munculnya HIV/AIDS di dunia, diketahui bahwa penyakit HIV/AIDS pertama kali teridentifikasi pada seorang gay di Afrika. AIDS merebak pertama kali dikalangan gay New York City pada tahun 1979, dan 20% pria gay tersebut diketahui mengidap HIV positif pada tahun 1980.
Menurut estimasi dan proyeksi kemenkes RI tahun 2013 mengatakan bahwa laki-laki seks laki-laki (LSL) mengidap HIV/AIDS meningkat tiap tahunnya dari 68.175 di tahun 2011 meningkat jadi 153.771 di tahun 2016 daripada pasangan wanita pria (PSK) sebesar 10.512 di tahun 2011 meningkat jadi 11.309 di tahun 2016. Data CDC (Centers for Disease Control and Prevention) pada 2013 di Amerika Serikat, orang gay yang berusia 13 tahun ke atas, 81% di antaranya telah terinfeksi HIV dan 55% di antaranya terdiagnosis AIDS.
Menurut para pakar kesehatan yang juga ditegaskan oleh Dr.E.R. Fields dalam artikel yang berjudul “ Is Homosexual activity normal?” menyatakan bahawa hubungan yang mereka lakukan melalui dubur (anal atau oral seks) yang memiliki resiko tertular HIV terbesar dari pada hubungan lainnya seperti, seks melalui mulut, hubungan melalui kelamin, fisting, fecal seks, urine seks, dan sebagainya. Maka dapat disimpulkan bahwa orang LGBT menyumbang penyakit HIV/AIDS terbesar di Indonesia, bahkan dunia.Dan populasinya semakin bertambah setiap tahun.
Di Indonesia, setiap penderita HIV/AIDS pengobatannya di tanggung oleh negara. Negara membayar biaya kesehatan pengidap penyakit HIV/AIDS Rp.254.000 sampai Rp.500.000 perorang setiap bulannya. Negara Indonesia sudah mengeluarkan Rp.1 triliyun pada tahun 2017 untuk pengobatan HIV/AIDS. Coba dibayangkan, jika setiap tahun populasi LGBT meningkat, secara tidak langsung penderita HIV/AIDS juga meningkat maka biaya yang akan dikeluarkan negara semakin banyak, sedangkan biaya untuk pembangunan negara masih banyak yang belum terselesaikan. Akibatnya akan menambah hutang negara yang berakhir dengan kemiskinan negara.
Peran pemuda dalam mengatasi permasalahan LGBT di Indonesia
Peran pemuda sebagai warga negara Indonesia diantaranya berperan aktif sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen of change. Ketika kekuatan moral pemuda Indonesia lemah maka negara juga akan lemah. Pemuda juga mampu mengontrol perubahan yang terjadi dalam masyarakat sehingga mampu membawa negara memiliki harga diri yang tinggi di mata dunia. Dalam mengatasi fenomena LGBT ini pemuda harus cepat tanggap dan bangkit ikut andil dalam mengatasi permasalahan ini, tidak hanya menyerahkan kepada pemimpin negara.
Solusi dalam mengatasi permasalahan LGBT ada dua cara yaitu upaya preventif dan represif. Upaya preventif (pencegahan sebelum terjadi penyimpangan) yaitu dari diri sendiri, mendekatkan diri dengan sang pencipta, membentengi diri agar tetap berjalan pada hidup yang benar, menciptakan keluarga yang harmonis, pendidikan yang layak, introspeksi diri ketika kecewa dan stress dan kembali berfikiran positif, bergaul di lingkungan yang baik, berteman sewajarnya, dan orangtua harus selalu mengontrol pergaulan anak.
Upaya represif (pengendalian setelah terjadi penyimpangan) yaitu mendirikan rumah sehat bagi homoseksual dimana disana akan dilakukan pembinaan, edukasi, layanan kesehatan, dan mengembalikan mindset pelaku LGBT ke fitrahnya, rangkul pelaku LGBT jangan di cemooh ataupun dihindari, tapi di ajak pada jalan yang semestinya. Karena pelaku LGBT juga manusia yang juga mau hidup normal seperti manusia seutuhnya, orang LGBT tidak salah tetapi perilakunyalah yang salah, jika boleh memilih mereka juga tidak mau jadi LGBT.
Oleh karena itu, mereka butuh kita semua, tidak hanya pemuda tetapi seluruh masyarakat untuk bisa memotivasi dan mendukungnya untuk bisa berubah.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik.2014. Kebutuhan Data Ketenagakerjaan Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan Badan Pusat Statistik
Kemenkes RI. 2013. Estimasi dan proyeksi HIV/AIDS di Indonesia tahun 2011-2016.
https://www.cdc.gov/diseasesconditions/index.html diakses 13 Maret 2018 pukul 16.00 WIB.
Philip A.1990. The United Nations and Human Rights: An Appraisal. Oxford University Press. hlm.10.
Haryanta, Agung Tri, Sujatmiko, Eko. 2012. Kamus Sosiologi. Aksara Sinergi Media Surakarta. hlm. 85.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini